Koruptor Lari dan tidak Jera



Mengapa para koruptor tak jera? Mereka tak takut dengan hukuman. Kurungan penjara bukan menakutkan. Malah mereka bisa menikmati hidup dipenjara dengan senang.

Para koruptor bisa bebas di penjara. Hanya statusnya saja sebagai orang hukuman. Mereka menikmati hidupnya dengan profesi sebagai koruptor.

Para koruptor bisa mengatur penegak hukum. Para koruptor bisa mengatur petugas tahanan. Kapan mau pergi kapan mau balik ke penjara. Penjara bisa diatur dan diubah sebagai hotel bintang lima. Mereka hidup dipenjara dengan kemewahan. Tidak seperti orang hukuman.

Para koruptor bisa menentukan berapa tahun harus di vonis. Semuanya bisa di atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur. Semua bisa diselesaikan dengan uang. Para profesional dibidang korupsi alias maling uang rakyat, tahu dan mafhum serta mengerti karakter para penegak hukum di Indonesia.

Mereka sedikitpun tak ada rasa takut dan jera, melakukan tindak pidana korupsi. Malah berlomba-lomba melakukan korupsi berjamaah. Karena, seperti ucapan oleh mantan pejabat Orde Baru, yang paling terkenal, Laksamanan Sudomo, yang mengatakan, "Semua bisa diatur", cetusnya waktu itu.

Coba kita perhatikan. Artalyta Suryani alias Ayin, menikmati kemewahan di penjara Pondok Bambu. Penjara disulapnya menjadi hotel bintang lima. Dengan segala fasilitasnya. Seperti kantor seorang CEO, sebuah perusahaan, yang dilengkapi fasilitas serba lux. Semua petugas penjara hanya menjadi pelayan Artalyta. Menuruti apa saja yang menjadi keinginan Ayin.

Ada lagi Gayus yang di tahan di Rutan Brimob Kepala Dua, Depok, Jawa Barat. Gayus mengalahkan bintang film manapun di Indonesia yang paling terkenal, karena Gayuslah merupakan manusia Indonesia paling banyak diberitakan oleh media massa. Gayus mengalahkan Presiden SBY di media massa.

Pegawai rendahan di Ditjen Pajak itu, membuat porak-poranda, segala silang-sengkarut korupsi dan pat-gulipat di Ditjen Pajak, yang melibatkan banyak orang, dan dia aduk-aduk. Tetapi, sampai sekarang tak bisa memberantas ke akar masalahnya.

Sebelumnya, ada pemain yang bermain ditingkat aparat penegak hukum, yaitu Anggodo. Diag sogoki para penegak hukum. Kita mendengar kaset rekeman percakapn Anggodo yang diputar di Mahkamah Konstitusi seperti sebuah drama.

Tentu, si Gayus yang sangat piawi dalam profesi sebagai koruptor itu, menunjukkan kelasnya. Di mana Gayus bisa keluar masuk tahanan. Hanya dengan cara membayar petugas jaga di Rutan Brimob.

Gayus yang sangat "ajaib" itu, bisa pergi ke Bali melihat turnamen tennis internasional dengan isteri dan anaknya. Gayus menginap di hotel paling mewah di Bali. Sangat luar biasa. Gayus konon juga masih bertemu dengan tokoh partai politik, dan membicarakan soal pajak perusahaannya. Sungguh betapa bobroknya Republik ini.

Para koruptor bisa lari ke luar negeri. Setelah mengantongi surat izin dari Kejaksaan untuk berobat ke luar negeri. Seperti Eddi Tansil yang gemplang uang Rp 1.3 triliun di zaman Soedomo, sekarang hidup di Cina dan mendirikan pabrik bir di negeri itu. Eddi Tanzil mula pergi ke Singapura dengan alasan berobat.

Syamsul Nursalim yang mengemplang uang negara melalui BLBI senilai Rp 27 triliun, pergi ke Singapura, alasan berubat, dan sampai sekarang tak pernah kembali lagi. Bahkan para pejabat tinggi konon ada yang "nyusu" kepada Syamsul. Sangat gamblang ketika Artalyta ditangkap KPK bersamaan seorang petugas kejaksaan.

Para koruptor di Indonesia sangat menikmati profesinya. Tidak ada profesi yang sangat menyenangkan di Indonesia, kecuali menjadi seorang koruptor. Resikonya sangat kecil. Bahkan tidak ada resiko apa-apa. Walaupun sudah mengkorup uang rakyat bermilyar-milyar. Mereka yang masuk bui itu, hanya nasibnya yang sedang sial.

Pengadilan Tipikor Jawa Barat, membebaskan semua tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi. Walikota Bekas bebas. Wakil Walikota Bogor juga bebas. Di Kalimatan 14 orang tersangka korupsi semua dibebaskan. Di Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera, seperti Gubernur Bengkulu Agusrin juga bebas. Walhasil para koruptor semua bebas. Karena, di Indoesia semua bisa diatur dengan uang.

Sebagian para koruptor itu, merasa sangat senang masuk penjara hanya beberapa minggu, kemudian mereka bebas dengan remisi. Seperti Artalyta. Sebentar masuk sudah keluar, karena mendapatkan remisi. Departemen Kehakiman mengobral remisi bagi koruptor. Kalau bisa jangan lama-lama koruptor berada dibalik jeruji besi.

Apalagi, sekarang ini, para koruptor itu, tak lain adalah "shohib" mereka sendiri. Para pimpinan partai dan anggota legislatif, dan pejabat publik, seperti menteri, gubernur, bupati, dan walikota. Mereka cepat-cepat dikeluarkan. Karena mereka sangat dibutuhkan oleh partai. Mereka yang masuk penjara banyak diantara yang menjadi aktifis partai.

Waktu baru dilantik menjadi menteri kehakiman dan wakil menteri kehakiman, Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana, mengatakan akan melakukan moratorium kebijakan remisi terhadap para koruptor.

Tetapi, pernyataannya itu hanya sebentar saja, dan kemudian Denny menganulir pernyataannya. Denny menyanggah tidak benar akan diberlakukan moratorium terhadap para koruptor. Hanya pengetatan saja. Pernyataan Denny berubah, tak lama sesudah seorang Ketua Partai Golkar, Priyo Budisantoso, mengkritiknya.

Presiden SBY pulang dari KTT G20 di Canes Perancis, menegaskan, pemberantasan korupsi harus ada kerjasama internasional, tegasnya. Tetapi, Indoensia sejak tahun l974, sampai hari ini, tak dapat membawa Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi. Indonesia hanya dipandang dengan mata sebelah oleh Singapura.

Uang rakyat Indonesia dikeruk oleh para koruptor, dan dilarikan ke Singapura, dan Indonesia hanya melongo. Tak kurang hampir $ 85 miliar dollar uang Indonesia yang dilarikan ke Singapura, dan pemerintah tidak dapat mengambil uang itu. Karena Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstridisi dengan Singapura.

Sampai hari ini, pemerintah yang memiliki aparat berjibun, menangkap Nunun Nurbaiti tak mampu. Inilah realitanya.

Para pengusaha Cina di Indonesia, mereka mengeksport barang-barang Indonesia keluar negeri. Tetapi, uang mereka simpan di Singapura, dan Indonesia hanya mendapatkan upah buruh, semata.

Sementara itu, Nenek Saodah mati dipenjara Medan, hanya karena mengambil jatuhan pohon randu, dan dipenjara tiga bulan. Orang-orang kecil yang lemah, mereka bernasib malang.

Berbeda. Teroris. Tidak ditanya-tanya lagi. Langsung dibunuh di "dor" dengan tembakan senjata oleh Densus 88. Salah atau tidak salah. Tidak penting. Mereka harus dibunuh dahulu. Karena membahayakan negara. Sementara koruptor mereka tetap menikmati kehidupan, dan terus dipelihara. Karena para koruptor juga sumber rezeki bagi para penegak hukum.

Sejatinya yang berkuasa di Indonesia itu, tak lain para koruptor yang berhasil mengontrol sistem negara. Tak aneh. Kalau sekarang ini ramai-ramai koruptor yang sudah merasa "nek" dengan KPK, berusaha membubarkannya.

Teriakan bubarkan KPK itu, makin nyaring, makin keras. Bagaimana membuat KPK itu segera masuk ke dalam perut bumi. Karena KPK sebuah lembaga yang menjadi antitesa dari para aktivis koruptor. Wallahu'alam.

Sumber : www.eramuslim.com

Semoga hadirnya tulisan ini dapat menambah wawasan bagi pembaca sekalian. Dan kami mohon maaf jika ada kekurangan disana-sini. Sebagai manusia kami tentunya tidak terlepas dari kesalahan atau kekeliruan. Oleh karena itu kami mengharap kritik dan masukan dari pembaca sekalian untuk lebih menyempurnakan tulisan ini...

Ditulis kembali oleh http://naturalcrystalx-wanitacantik.blogspot.com/
Artikel Lain :
1. Pergaulan bebas
2. Jangan Dekati Zina
3. Antisipasi tumbuhnya GeneraSI tak Sholat

Berbagai masalah anda silahkan klik gambar :

Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Kelambu nyamuk Image and video hosting by TinyPic

jellygamatImage and video hosting by TinyPic

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan. Terima kasih.