Di  indonesia kalau ada yang "tekdung" kata orang sih begitu dan statusnya  belum nikah kebanyakan dinikahkan dalam rangka menutup malu. Bagaimana  status NIkahnya satu jwaban = BATAL.
Lalu Bagaimana Status anaknya ?? begini ceritanya....
Ada sebuah kasus yang menimpa salah seorang teman, yaitu istrinya  melakukan perzinaan dengan seorang laki-laki. Ketika dia hamil dan  melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai, karena ingin  menikah dengan pacar gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia  mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil  perzinaan dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana  sebenarnya status anak tersebut ?
Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan yang melakukan  perbuatan zina dan hamil dibagi menjadi dua :
Pertama : Dia  berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang  terjadi pada kasus di atas. Jika perempuan tersebut hamil dan  melahirkan, maka status anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan  bukan kepada laki-laki yang berzina dengannya, walaupun anak tersebut  wajahnya mirip dengan laki-laki yang berzina. Kenapa ? karena air mani  orang yang berzina tersebut tidak dihargai dalam Islam, sehingga tidak  diakui nasabnya.
Selain itu, Islam ingin menutupi aib orang  muslim jika hal itu memungkinkan, dan sekaligus ingin menghargai anak  manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi dari hasil perzinaan  tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah, yang bersalah adalah orang  yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi tersebut diikutkan  kepada pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang  sah. Dalilnya adalah hadist yang menyebutkan kisah anak yang lahir dari  budak perempuan milik Zam’ah bin Aswad yang ternyata pernah melakukan  hubungan badan dengan Utbah bin Abi Waqash. Utbah mewasiatkan kepada  saudaranya Sa’ad bin Abi Waqash untuk mengambil anak tersebut, karena  anak tersebut sebenarnya adalah anaknya. Tetapi Abdun bin Zam’ah merasa  anak tersebut adalah saudaranya. Terjadilah pertengkaran antara Sa’ad  bin Abi Waqash ( saudaranya ‘Utbah ) dengan Abdun bin Zam’ah. Berkata  Sa’ad : “ Saudaraku bilang bahwa anak dari budak milik Zam’ah ini adalah  anaknya. Berkata ‘Abdun : “ Dia adalah saudaraku, karena dia adalah  anak bapakku karena lahir di atas kasur bapakku. Maka nabi Muhammad saw  bersabda kepada ‘Abdun : “ Itu adalah saudaramu wahai Abdun, karena anak  yang lahir tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang mempunyai istri  dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan  apa-apa, wahai Saudah ( binti Zam’ah ), kamu harus berhijab ketika  bertemu dengannya nanti.( karena wajah anak tersebut mirip dengan Utbah )  “ ( HR Bukhari 2533 )
Kedua : Perempuan yang berzina tadi  belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan perkawinan yang sah.  Hal ini biasanya terjadi di kalangan para mahasiswa-mahasiswiI dan para  pelajar putra – putri yang hidup di daerah perkotaan. Bagaimana status  anak yang dikandungnya ? Apakah boleh diakui sebagai anak keduanya  setelah mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak boleh dinisbatkan  kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai  anak zina tidak boleh dinisbatkan sama sekali kepada laki-laki yang  menghamili ibunya, antara keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika  anak yang lahir tadi perempuan, maka laki-laki tersebut tidak boleh  menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya  yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah  hadist Zam’ah di atas bahwa : “ anak itu dinisbatkan kepada suami yang  mempunyai istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina  tidak mendapatkan apa-apa. “
Oleh karenanya, jika laki-laki  yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil perzinaan tersebut  diselamatkan dan tidak terlantar begitu saja, maka dibolehkan baginya  untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat anaknya sendiri.  Hanyasaja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak  mendapatkan warisan. Tetapi, jika laki-laki tersebut ingin menghibahkan  atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia  meninggal dunia, maka hal tersebut dibolehkan.
Pendapat Kedua  mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang  menghamili ibunya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah (  Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa : 32/ 112, 113, 139 ). Pendapat ini juga  dinisbatkan kepada Ishaq bin Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin,  Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakh’I dan lain-lainnya.( Al Baji, Al Muntaqa :  6/ 11 , Ibnu Qudamah, Al Mughni : 6/ 266 )
Mereka beralasan  bahwa hadist Zam’ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang mempunyai  suami dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut  disebut firasy ( tempat tidur ) bagi suaminya. Tetapi lain halnya, jika  perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah,  maka dia tidak disebut firasy. Dengan demikian hadist di atas tidak  berlaku pada perempuan semacam ini.
Selain itu, sebagaimana  telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina tadi kepada  suami yang sah, adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat anak  yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah, ternyata  perempuan tersebut pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang  sah, sehingga anak hasil perzinaan tersebut mau dinisbatkan kepada siapa  ? kalau kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa  mendatang karena tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun  akan mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak zina, dengan demikian  aib tersebut akan terbongkar dan mencorengnya serta mencoreng ibu yang  melahirkannya, padahal barangkali ibu tersebut sudah bertaubat dengan  sungguh-sungguh. Jika dikemudian hari ternyata laki-laki dan perempuan  yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka pernikahan  mereka berdua adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I, sebagaimana  yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah  salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang sekarang sudah  menjadi suami ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak lain yang  mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.
Pendapat ini  dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan  anak-anak yang dilahirkan pada waktu jahiliyah kepada siapa yang  mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam ( Atsar Riwayat Imam Malik  di dalam al- Muwatho’, no : 1426, Baihaqi, no :21799, Berkata Syekh Al  Bani di dalam Irwa’ Ghalil : 6/ 25 : orang-orang yang meriwayatkan atsar  ini bisa dipercaya, karena telah mereka telah meriwatkan hadist-hadist  di dalam shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus, karena  Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi tersambung  dari jalan lain )
Kesimpulan dari pembahasan di atas, bahwa  anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan  perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka  statusnya dinisbatkan kepada suami yang sah dari perempuan yang berzina  tersebut. Sedang jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam  ikatan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, maka status anak dari  hasil perzinaan tersebut masih diperselisihkan para ulama : mayoritas  ulama mengatakan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya, sedang  sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa anak tersebut boleh  dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang melahirkannya.  Wallahu A’lam.
Artikel yang lain :
By : Ustd. hardi ansyah
arliva widji

























 
 
 
 
 
 
 
