Perlindungan Konsumen " Singkirkan Merkuri dari Kehidupan"



Merkuri atau juga dikenal sebagai air raksa, ternyata ada di sekitar kehidupan kita. Di tanah, air, produk rumah tangga, bahkan pangan dan kosmetik. Kita ingat hampir setiap tahun Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan peringatan publik (public warning) terkait ditemukannya kosmetik perawatan muka yang mengandung merkuri. Tidak hanya pada produk ilegal atau tidak terdaftar, beberapa produk yang memiliki ijin edar pun terpaksa dicabut ijinnya karena terbukti mengandung merkuri.

Sebagai senyawa toksik, merkuri tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga lingkungan dan ekosistem yang lebih luas. Kenapa? Karena merkuri ternyata tidak dapat hilang atau dihilangkan, begitu ada di alam. Bahkan merkuri dapat berpindah bersama udara, hingga jauh dari sumber asalnya. Apabila sudah terlanjur ada dalam tanah, merkuri pun dapat melanglang buana, masuk ke saluran air, sungai, lautan luas.

Di perairan, melalui mikroorganisma, merkuri dapat berubah bentuk menjadi senyawa metil merkuri. Senyawa ini mempunyai efek toksik yang lebih tinggi lagi. Dalam bentuk metil merkuri, senyawa ini dapat masuk ke dalam rantai makanan. Bermula dari makhluk hidup yang ada di air seperti ikan, kerang, dan hewan lainnya, dimakan oleh burung. Burung dimangsa oleh hewan lain yang hidup di darat, akhirnya dikonsumsi manusia. Karena sifat akumulasinya (menumpuk di dalam tubuh) kandungan merkuri pada beberapa jenis ikan ditemukan jauh lebih tinggi dari pada dalam perairan.

Di tingkat global, beberapa waktu yang lalu dilakukan penelitian kandungan merkuri dalam ikan. Dari penelitian ini, kandungan merkuri dalam ikan ditemukan bervariasi, dan kandungan yang jauh melebihi batas diizinkan untuk pangan ditemukan di 24 negara, termasuk Indonesia. Yang tertinggi ditemukan di Spanyol dengan kandungan 6.600 ppm (mg/kg) sementara di Indonesia ditemukan pada daging ikan tuna dengan kandungan 1.223 ppm. Bandingkan dengan batas yang diizinkan untuk pangan yang berkisar pada angka 0.5 ppm !.

Isu merkuri pernah sangat ramai pada tahun 1990-an dengan ditemukannya merkuri di Teluk Jakarta. Yang sangat terkenal di tingkat global adalah kasus Minamata di Jepang. Peristiwa tersebut mengakibatkan lahirnya anak-anak yang cacat. Untuk sampai pada pengakuan Negara akan kesalahan yang terjadi dan akibat yang ditimbulkannya pada manusia, diperlukan puluhan tahun. Urusan ganti rugi baru terjadi dalam setahun belakangan ini saja. Kasus ini membuktikan bahwa cemaran merkuri benar-benar berdampak pada manusia dan keturunannya.

Dampak Kesehatan

Merkuri dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara. Pertama adalah melalui rantai makanan. Konsumsi bahan makanan yang mengandung merkuri akan meninggalkan sebagian dari merkuri tersebut di dalam tubuh manusia. Paparan yang terus menerus akan mengakumulasi racun ini di dalam tubuh. Risiko sangat tinggi terjadi pada perempuan usia produktif serta perempuan yang sedang hamil dan menyusui. Merkuri akan berpindah ke janin yang sedang dikandung melalui jalur makan janin, yaitu plasenta. Kandungan merkuri pada janin dan bayi yang dilahirkan, bahkan dapat lebih tinggi dari yang ditemukan pada ibunya.

Merkuri pun ditemukan pada ASI (air susu ibu). Berarti, perempuan yang sedang menyusui dan tubuhnya terpapar pada racun merkuri, sangat berpotensi membagi merkuri yang ada di tubuhnya pada bayi yang sedang disusui. Risiko paparan merkuri pada janin, bayi dan anak-anak jelas lebih tinggi. Karena akan mengganggu perkembangan sistem syaraf dan perkembangan otak pada awal-awal pertumbuhannya. Akibatnya, akan mengurangi kemampuan berpikir serta ketrampilan motorik anak.

Pada orang dewasa pun dampak merkuri tidak sedikit. Beberapa kelompok masyarakat mempunyai risiko yang lebih tinggi. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah misalnya. Tidak adanya mekanisme pembuangan sampah menjadikan semua jenis sampah, termasuk bahan beracun berbahaya ada di sana. Tanpa perlindungan, tanpa pengetahuan, mereka memilih dan memilah sampah-sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Pembakaran sampah juga berpotensi mengeluarkan emisi mengandung merkuri. Oleh karena itu penggunaan insinerator banyak ditentang berbagai kalangan.

Kelompok masyarakat lain yang mempunyai risiko tinggi adalah mereka yang menggantungkan hidupnya di laut dan pertambangan. Para nelayan dan mereka yang hidup di pantai dengan sumber pangan berasal dari laut memiliki risiko terpapar merkuri lebih tinggi. Demikian juga mereka yang bekerja di pertambangan, seperti tambang batu bara dan tambang emas. Pertambangan emas skala kecil yang ada di beberapa wilayah di Kalimantan sudah membuktikan hal ini. Bahkan di salah satu area yang telah diteliti, emisi yang dikeluarkan sebesar 50 ribu ton setahun.

Produk Mengandung Merkuri

Di sekitar kehidupan kita, masih ditemukan produk-produk yang mengandung merkuri. Yang paling dekat dengan keseharian adalah thermometer pengukur suhu tubuh. Sebagian besar rumah tangga, terutama di kota besar dan memiliki anak, hampir dapat dipastikan memiliki thermometer. Thermometer yang paling lazim digunakan, tidak hanya di rumah tangga tetapi juga di berbagai sarana pelayanan kesehatan, adalah thermometer yang menggunakan air raksa atau merkuri. Di sarana kesehatan, masih ada beberapa alat kesehatan yang masih menggunakan merkuri, diantaranya alat pengukur tekanan darah.

Peralatan medis menggunakan merkuri sudah seharusnya mulai tidak digunakan lagi, mengingat potensi bahaya merkuri, apalagi bila alat tersebut sampai pecah. Alternatif pengganti juga sudah tersedia. Belakangan, thermometer digital memang sudah mulai banyak digunakan. Sayangnya, bagi sebagian masyarakat, atau bahkan sarana pelayanan kesehatan sekalipun, produk-produk alternatif ini masih dianggap cukup mahal.

Baterai, merupakan produk yang hampir selalu dijumpai di rumah tangga. Benda silinder ini digunakan untuk berbagai keperluan. Mulai dari senter sebagai penerang dalam keadaan darurat, sampai radio bahkan sekedar jam dinding pun memerlukan baterai. Saat ini industri baterai sudah mulai mengklaim produknya tidak menggunakan merkuri. Hal ini dapat dilihat dari klaim “mercury free” pada produknya. Tapi, apakah produk tersebut benar-benar bebas merkuri? Mungkin saja ya, tetapi, ini tidak berarti baterai tidak memiliki potensi risiko, dan dapat dibuang sembarangan. Masih banyak unsur logam berat lain yang terdapat dalam baterai. Sayangnya, sampai saat ini belum ada pilihan bagi konsumen bagaimana menangani baterai bekas pakai.

Jangan terkejut, dalam rongga mulut kita mungkin saja ada kandungan merkuri. Ya, bahan penambal gigi yang sangat kita kenal, amalgam, ternyata mengandung unsur merkuri. Oleh karena itu, sekarang banyak dokter gigi mulai tidak menggunakan lagi, dan menggantinya dengan alternatif lain. Selain tidak mengandung unsur merkuri, juga lebih indah karena bahan tersebut mendekati warna gigi. Namun katanya, untuk lubang yang cukup besar, dokter gigi cenderung masih menggunakan amalgam.

Produk lain yang berpotensi mengandung merkuri dan langsung kontak dengan kulit adalah kosmetik. Kosmetik yang mengklaim dapat memutihkan bisa jadi mengandung unsur merkuri. Buktinya, setiap tahun BPOM mengeluarkan peringatan publik untuk beberapa produk kosmetika, yang diantaranya karena mengandung merkuri. Meski dalam jumlah kecil, merkuri bersifat toksik. Pada kulit, merkuri dapat menyebabkan perubahan warna kulit, menimbulkan iritasi dan alergi. Dalam jumlah tinggi, dapat menyebabkan kerusakan pada sistem syaraf, serta organ lain seperti ginjal.

Temuan BPOM

Tahun Keterangan 2007 16 produk tidak terdaftar 2008 2 produk dicabut ijin edarnya, 13 produk tidak terdaftar 2009 9 produk dicabut ijin edarnya, 6 produk tidak terdaftar

Sumber: www.pom.go.id

Di Amerika Serikat pun kosmetik mengandung merkuri menjadi perhatian khusus. Meski sejak lama penggunaan merkuri dalam kosmetik telah dilarang, ternyata produk mengandung merkuri masih dapat ditemukan di pasaran. The Chicago Tribune, surat kabar yang cukup besar di Amerika, menguji 50 merek krim yang digunakan untuk mencerahkan kulit dan menghilangkan tanda-tanda penuaan. Hasilnya, enam sampel mengandung merkuri. Bahkan lima di antaranya mengandung lebih dari 6.000 ppm, cukup untuk menyebabkan kerusakan ginjal bersamaan dengan waktu.

Upaya Menyingkirkan Merkuri

Seiring dengan perkembangan pengetahuan akan berbagai bahaya merkuri, Negara-negara mulai mempertimbangkan perlunya kerjasama global untuk mengurangi keberadaan merkuri di alam. Hanya sepertiga merkuri dari merkuri yang ada di lingkungan terbentuk secara alami. Dua pertiga bagian lagi, diakibatkan oleh perbuatan manusia, melalui berbagai kegiatan dan produk yang dihasilkan. Sifatnya yang dapat berpindah melalui udara, perairan dan rantai makanan, menyebabkan upaya ini tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.

Saat ini sebuah perjanjian internasional sedang dibangun dan diharapkan dapat selesai pada tahun 2013. Pertemuan pertama antar negara (intergovernmental negotiating committee) berlangsung pada awal Juni 2010. Untuk pertemuan awal ini, pemerintah Indonesia baru menetapkan titik perhatian Negara, dan akan melihat perkembangan diskusi yang terjadi. Untuk menetapkan prioritas, bidang atau sektor mana yang terlebih dahulu ditargetkan bebas dari merkuri, diperlukan dukungan data yang akurat dari semua instansi terkait. Alasannya, pemerintah harus mampu menyeimbangkan kepentingan lingkungan (dan kesehatan?) dengan kepentingan bisnis atau ekonomi.

Pemerintah tetap perlu diingatkan. Kecenderungannya, pemerintah maupun masyarakat kurang memberi perhatian sebelum ada korban. Kepentingan dan biaya ekonomi seringkali menjadi pertimbangan utama. Namun, jangan sampai pertimbangan biaya saat ini menimbulkan biaya kesehatan dan sumber daya yang jauh lebih besar dalam jangka panjang. Konon diduga kuat, tingginya tingkat autism di antaranya disebabkan oleh kontaminasi merkuri.

Kandungan Merkuri Pada Rambut

Dalam pertemuan negosiasi antar negara yang baru dilakukan pertama kali (first intergovernmental negotiating committee/INC1) awal Juni ini di Kopenhagen, Swedia, dilakukan uji kandungan merkuri pada rambut. Sampel diambil dari peserta dan delegasi yang hadir pada pertemuan penting tersebut. Hasilnya?

Mengejutkan, sampel rambut peserta dari 40 negara terbukti mengandung kontaminasi metil merkuri. Kandungan merkuri dari sampel yang berasal dari negara berkembang dan negara dalam transisi ternyata dua kali lipat dari mereka yang berasal dari negara maju. Selain itu, rata-rata merkuri pada rambut sampel yang berasal dari negara berkembang dan negara dalam transisi melebihi batas yang diizinkan oleh US National Research Council, yaitu 1000 mikrogram/kg (ppb).

Perjanjian merkuri yang akan dinegosiasikan ini menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang mengonsumsi ikan sebagai sumber energinya. Diduga kuat, merkuri tersebar pada jaringan protein ikan, sehingga, menguliti dan tidak mengonsumsi kulit ikan belum menjamin terhindar dari merkuri.

Metil merkuri yang dapat berpindah melalui air, tanah, dan terakumulasi pada makhluk hidup juga dapat sampai ke manusia melalui rantai makanan. Pada manusia, metal merkuri akan terikat pada rambut. Oleh karena itu, pengujian kandungan merkuri pada rambut dinilai relevan untuk mengetahui kontaminasi merkuri pada tubuh, yang diduga kuat berasal dari pola makan.

Sampel diambil dari 58 orang yang berasal dari 40 negara, terdiri dari 45 delegasi negara, 8 dari lsm dan masyarakat adat, dan 5 tokoh penting dari Swedia. Seluruh sampel rambut ternyata mengandung metil merkuri dengan jumlah bervariasi antara 93 ppb – 2956 ppb. Salah satu sampel yang diambil dari peserta pertemuan yang berasal dari Indonesia mengandung 1364 ppb.

Dua puluh dua sampel melebihi standar US National Research Council, yaitu 1000 mikrogram/kg (ppb) dengan 17 diantaranya berasal dari negara berkembang dan negara dalam transisi. Dari 22 sampel ini, 7 sampel perempuan. Perempuan dalam usia reproduksi yang terpapar dengan merkuri memiliki risiko tinggi, karena merkuri dapat berpindah ke janin yang sedang dikandung.

Akhirnya, survei ini menunjukkan bahwa kontaminasi merkuri telah terjadi di seluruh dunia. Karena sampel rambut berasal dari Asia Pasifik (22 persen), Latin Amerika dan Karibia (19 persen), Afrika (11 persen), Eropa Timur dan Tengah (10 persen), serta Eropa Barat dan lainnya (38 persen).

Huzna G. Zahir- Pengurus Harian YLKI

1 komentar:

Berkomentarlah dengan sopan. Terima kasih.